obrolAN (Kamis, 27 September 2018)
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Kamis 13 September 2018 lalu. Pasal yang diuji mengenai larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan eks narapidana kasus kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi calon legislatif. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. Sedangkan untuk kasus kejahatan luar biasa lainnya seperti peredaran narkoba, kekerasan seksual terhadap anak tidak dianggap bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka mantan narapidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu. Berdasarkan UU pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik. Akan tetapi mekanisme untuk mengumumkan ke publik juga belum ada aturan rincinya, artinya ini juga dapat diterjemahkan secara berbeda oleh setiap orang. Sementara PKPU yang melarang parpol mendaftarkan mantan narapidana kasus korupsi sebagai caleg dianggap bertentangan dengan UU Pemilu, karena UU Pemilu membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Hal tersebut menurut MA bertentangan. MA sudah menerima 13 pengajuan uji materil PKPU 20 Tahun 2018. Gugatan diajukan para mantan koruptor yang ingin menjadi wakil rakyat. Diantaranya, mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati.
Polemik boleh tidaknya eks koruptor menjadi caleg mengemuka setelah KPU melarang mereka nyalon legislatif, sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membolehkan, Bawaslu meloloskan para mantan narapidana kasus korupsi sebagai bakal calon legislatif. Kedua badan ini tidak menemui kesepakatan dan akhirnya masalah ini diserahkan ke MA, yang memutus uji materi PKPU pada Kamis (13/09).
Selain Bawaslu, yang juga tidak sependapat dengan PKPU adalah kalangan DPR dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Yasonna merujuk pasal 240 ayat 1 UU 7/2017 tentang Pemilu, yang menyebut mantan narapidana yang telah menjalani hukuman lima tahun atau lebih, dapat menjadi caleg, asalkan mengumumkan kasus hukum yang pernah menjeratnya. Ia mengatakan KPU tak berwenang membatasi hak politik warga negara, termasuk bekas koruptor.
Sementara itu dari kalangan pegiat anti Korupsi, seperti dari lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai keputusan yang dikeluarkan oleh MA ini telah melewatkan kesempatan emas untuk mewujudkan pemilu yang lebih demokratis dan berintegritas dengan memutus mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak bisa maju menjadi calon legislatif. ICW berpendapat bahwa MA tak mempertimbangkan dampak yang terjadi jika mantan napi kejahatan tersebut menjadi anggota DPR atau DPRD. Selain itu menurut ICW putusan yang dikeluarkan MA ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, karena jika dalam pertimbangan putusan MA yang menganggap bahwa Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 tahun 2018 adalah bertentangan dengan Pasal 204 UU Pemilu Nomor 7 itu justru keliru dikarenakan pengaturan dan objeknya berbeda. Hal ini karena dalam Pasal 204 UU Pemilu Nomor 7 mengatur syarat calon indvidu. Sedangkan Pasal 4 ayat 3 syarat pencalonan dimana otoritas dan ruang lingkupnya adalah partai politik ini adalah dua hal yang berbeda menurut pendapat dari ICW. Banyak kalangan menilai bahwa PKPU yang diperdebatkan merupakan suatu upaya konkrit memutus korupsi dari hulunya, yaitu dari penjaringan di parpol. Jika parpol dapat memberikan calon yang bersih dan berintegritas harapannya akan membantu mengurangi kasus korupsi yang masih menjadi pekerjaan besar di Indonesia.
Sedangkan respon yang dikeluarkan masyarakat sejalan dengan yang disampaikan oleh ICW, dimana masyarakat kecewa dengan keputusan yang dikeluarkan oleh MA dengan menuangkannya melalui aspirasi suara publik lewat petisi di Change.org #koruptorkoknyaleg yang sejauh ini sudah ditandatangani oleh sekitar 248.300 lebih orang. Melihat hal tersebut sudah sewajarnya ditemukan solusi guna menyelesaikan polemik yang sedang berkembang tersebut seperti dengan penandatangan pakta integritas yang berisi komitmen dari seluruh Partai Politik untuk tidak mencalonkan eks koruptor sebagai caleg. Namun demikian, ada bermacam respons yang dikeluarkan partai politik dalam menyikapi putusan MA tersebut. Seperti ada sejumlah partai yang sejak awal tidak mencalonkan caleg mantan napi korupsi, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ada pula yang berniat untuk menarik calegnya yang berstatus eks koruptor dan mengganti dengan caleg yang bersih, seperti PDI Perjuangan dan Partai Perindo. Namun, ada juga partai yang bersikukuh usung caleg mantan napi koruptor, seperti Partai Demokrat, Partai Gerindra, hingga Partai Golkar.
Namun demikian, bagaimana pun hasilnya keputusan sudah menjadi sebuah putusan, tinggal bagaimana masyarakat meresponnya dengan jalan pintar-pintar dalam memilih calon wakil rakyat mereka. Sehingga peran semua elemen untuk mengedukasi masyarakat dalam memilih calonnya menjadi salah satu solusi agar masyarakat dapat memilih calon yang bersih dan berintegritas untuk menjdi wakilnya di legislatif. Upaya mengedukasi kepada masyarakat yang dapat dilakukan seperti menampilkan track record para calon legislatif yang maju.
Hal lain yang penting untuk dilakukan yaitu pembinaan di internal parpol agar dapat mencetak kader-kader yang berintegritas dan bersih sehingga kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya akan muncul.